Sebenarnya
saya masih belum sanggup membuka akun blog ini...
Mengingat
di dalam blog ini tersimpan sebagian kenangan bersama suami tercinta. Bahkan
untuk melihat fotonya pun terkadang masih belum kuat... masih terbayang seakan
dia masih ada...
Suami
saya beberapa bulan lalu meninggal dunia karena sakit, tepatnya hari
Minggu, 18 Mei 2014. Suami saya menderita sakit selama tujuh bulan sebelum
meninggal. Disini saya ingin berbagi (sharing) cerita buat
para pembaca yang sempat membaca blog saya ini. Semoga ada manfaat dan
hikmah yang bisa diambil dari pengalaman saya ini.
Suami
saya bernama Krus Haryanto ( http://www.zizigallery.com/2015/11/dimensi-foto-oleh-om-krus-haryanto.html http://brockbox.blogspot.co.id/2014/05/in-memoriam-om-krus-haryanto.html ) dia seorang fotografer profesional, tepatnya
Pewarta Foto. Pernah menjadi Ketua Umum Pewarta Foto Indonesia (PFI),
pernah bekerja di beberapa majalah ternama di Jakarta. Suami saya juga bisa
menulis. Dia juga piawai bermain musik, terutama gitar. Untuk urusan musik,
beberapa tahun belakangan juga menciptakan banyak lagu yang belum
sempat dilansir alias dipublikasikan. Hanya beberapa teman yang sudah mendengar
lagunya dan katanya bagus. Ada lagu dangdut, pop, pop jaz, aliran seperti
koes ploes juga ada. Belasan lagu sudah dia ciptakan dalam bentuk jadi,
direkam sendiri di rumah dengan suaranya sendiri. Untuk cipta mencipta
lagu ini, lagunya sudah pernah menjadi jingle sebuah iklan yang
disiarkan di radio untuk sebuah produk. Kalau boleh dibilang suami saya ini
multi talenta, dia bisa menulis, jago motret, juga pintar bermain musik. Saya
bangga punya suami seperti dia.
Serangan
mendadak
Saya
sama sekali tidak menduga, hari kamis malam, tanggal 18 Oktober 2013 itu
menjadi hari yang tak terlupakan. Betapa tidak, malam itulah suami saya
terkena serangan penyakit pertama kalinya, tepatnya baru ketahuan,
yang berujung panjang dan sampai akhirnya dia meninggal dunia. Malam
itu, seperti biasa, saya pulang kantor sekitar jam 10-an malam. Saya
dapati suami saya sudah ada di teras depan rumah membukakan pintu
pagar. Sepulang kantor, biasanya setelah ganti baju, saya langsung
ke kamar mandi untuk sikat gigi, cuci muka, kemudian tidur, karena
sebelumnya saya sudah lebih dulu sholat isya di kantor. Namun ketika saya di
kamar, suami menghampiri dan memanggil saya, “ada apa pa”, jawab saya. Namun
dia tidak menjawab. Saya tanya, “kenapa pa, papa sakit, sini mama pijitin”,
sambil saya pijit badannya. Tapi pagi memang dia sempat minta dipijit sebelum
saya berangkat bekerja. Ketika saya tanya, dia tidak menjawab, tepatnya tidak
bisa menjelaskan kenapa dan apanya yang sakit atau enggak enak. Sampai akhirnya
dia saya bawa ke klinik 24 jam dekat rumah. Itu juga saya pikir tumben, kok
mau, karena biasanya dia paling tidak suka ke dokter, kalau tidak sakit parah
sekali. Di ruangan dokter, dia juga tidak bisa menjawab pertanyaan
dokter, “apa yang dirasakan pak” tanya dokter. Sampai saya bilang, belakangan
suami saya sering batuk dokter. Akhirnya kita pulang, dokter hanya memberi obat
batuk biasa, karena tensi dan lain-lain semuanya bagus.
Sampai
di rumah masih juga belum bisa menjawab apa yang saya tanyakan “ada apa
sih pa, kok ga bisa ngomong, ada apa, papa kenapa, apa yang dirasain”. Tetap
tidak bisa menjawab, dijawab “ehm ehm itu ehm anu.. dst”. Sampai sekitar jam 12
malam, tiba-tiba kepalanya miring ke kanan... dan suami saya kejang. Saya
panik. Saya bangunkan kedua anak saya. Saya suruh pegang papanya jangan sampai
jatuh atau terbentur. Beberapa menit kemudian, suami saya ngamuk seperti orang
kesurupan hampir sekitar 40 menit. Setelah sadar, baru dibawa ke rumah
sakit MK. Saya pikir, suami saya kena stroke, yang saya ingat adalah
bahwa ketika seseorang terserang stroke maka paling lambat 6 jam harus segera
ditangani oleh dokter, kalau tidak maka bisa menjadi stroke permanen. Itu yang
saya ingat. Maka yang ada dalam ingatan saya adalah harus segera di bawa
ke rumah sakit.
Terdeteksi
Kanker Paru-paru
Sampai
di rumah sakit sekitar jam 02.00 dini hari, suami saya segera digotong ke ruang
IGD. Diperiksa oleh dokter jaga, disuruh menjulurkan lidah, menggenggam,
menanyakan siapa disamping bapak, dst. Semuanya bisa dijawab dengan baik,
seolah sebelumnya tidak terjadi apa-apa. Malam itu juga kepala dan dadanya di
scan / rontgen. Kemudian dokter memanggil saya, mendengar penjelasan dokter,
saya sangat kaget bagai disambar halilintar, dokter mengatakan di kepala suami
saya, ada semacam massa, massa itu bisa kanker atau tumor, di paru-paru juga
ada, kemungkinan tumor paru-paru yang sudah menyebar ke kepala. Saya lemas dan
terkulai mendengar keterangan dokter. Saya jalan seperti tidak menapak bumi.
Lemah lunglai. Malam itu suami saya masuk ke ruang HCU. Sekitar dua
malam di HCU, pindah ke ruang perawatan biasa. Selanjutnya, kepala suami saya
di MRI dan scan thorax contras. Hasil MRI, suami saya terkena kanker paru-paru
yang sudah menjalar ke kepala. Kenapa suami saya kejang, karena massa yang ada
di kepala meradang (bengkak). Itu yang membuat suami saya kejang. Dan itulah
yang menjadi penanda awal (ketahuan) bahwa suami saya kena kanker paru-paru
stadium empat yang sudah menjalar kepala. Sebenarnya tumor yang ada di kepala
kecil sekitar 1,5 mili. Tapi karena meradang jadi terlihat sangat besar sekali.
Hasil MRI terlihat jelas, tumor dan peradangannya. Saya sempat berdebat dengan
dokter spesialis paru, “kenapa baru ketahuan, langsung stasium empat dok?”,
tanya saya yang awam ini. “Memang begitu bu, kalau kanker-kanker paru-paru itu
jahat, biasanya baru ketahuan kalau stadium sudah lanjut”, dokter
menjelaskan. Untuk tahu bahwa seseorang terkena kanker paru-paru, menurut
dokter, harus setiap tahun rontgen, terutama untuk seorang perokok. Suami saya
dirawat selama 6 hari di RS MK Depok.
Sebenarnya
suami saya jarang sekali sakit, paling hanya sakit biasa masuk angin, flu dan
batuk biasa. Dan sangat jarang ke dokter. Dia bukan dokter minded
seperti saya. Kalau saya, sakit sedikit ke dokter, sakit sedikit ke rumah
sakit. Seingat saya, selama kami menikah selama 19 tahun, paling hanya beberapa
kali dia ke dokter dan tidak pernah masuk rumah sakit atau dirawat tepatnya.
Saat lebaran Idul Fitri Agustus 2013, kami masih sempat mudik ke Jawa Tengah
bersama keluarga besar suami, konvoi empat mobil. Suami saya masih nyetir
pulang pergi tanpa ada yang menggantikan, pulangnya sempat menginap semalam di
Pangandaran. Pulang dari mudik, memang suami batuk-batuk agak lama
sekitar dua bulan, tidak sembuh-sembuh, saya suruh ke dokter tidak mau, hanya
minum orang batuk cair yang beli di toko obat. Hari Sabtu, tanggal 12 Oktober
2013 kami masih jalan-jalan ke Pantai Anyer bersama keponakan. Tanggal 15
Oktober 2013 hari Idul Adha. Serangan ini terjadi tiga hari setelah hari raya
Idul Adha, tepatnya tgl 17 Oktober tengah malam, hari kamis malam jumat.
Seingat saya, saat itu tiga hari berturut-turut saya memasak daging, hari
pertama lebaran, daging Qurban saya buatkan rendang, hari berikutnya anak saya
yang kedua minta dibuatkan semur, saya tanya ke suami, “ga apa-apa, daging
lagi, anak-anak minta dibikinkan semur” tanya saya ke suami. “enggak apa-apa”,
kata suami. Apa mungkin itu yang menjadi pemicunya, saya tidak tahu.
Pola
hidup tidak sehat
Menang
benar, pola dan gaya hidup suami saya sangat buruk sekali. Suami saya perokok
berat, sehari bisa menghabiskan rokok dua bungkus, minum kopi sehari bisa tiga
gelas bahkan lebih, suka sekali begadang, jarang sekali tidur dibawah jam 12
malam. Ditambah tidak terlalu suka makan sayur, kalau makan tidak pernah
banyak, mungkin sudah terlalu kenyang dengan kopi. Saya sudah sering kali
mengingat dia dalam soal ini, bahkan saya pernah bilang ke dia suatu
kali, “papa itu, semua sumber penyakit ada di papa, rokok, kopi,
begadang, lama-lama saya nanti jadi janda nih”, ujar saya saking
kesalnya. Dan ternyata ucapan saya itu, saat ini terbukti, saat ini
menjadi janda dengan tiga anak. #pelajaran = jangan mengumpat dengan
kalimat yang tidak baik, nanti kualat, istilah orang tua#
#astaghfirullahhalazhim#
Ahhh...
sudahlah, tidak perlu lagi mengingat dan mengungkit atau mengulang-ngulang
masalah rokok di hadapan suami, pikir saya. Karena kalau saya mengungkit
masalah rokok ini di hadapannya tentu membuat dia tambah down.
Sejak dia sakit, saya tidak pernah mengungkit lagi masalah rokok apalagi
menuding-nuding dia sebagai perokok berat. Karena saya sudah tahu dari dokter
bahwa kanker yang ada di tubuh suami saya sudah stadium empat. Saya kasian dan
melas melihat dia dan sangat berharap dia sembuh. Saya dan keluarga besar tidak
memberitahu stadium kanker yang dialami oleh suami saya. Enggak tega.
Suami
saya sempat mencoba pengobatan herbal dari seorang dokter sekaligus
herbalis yaitu dokter yang beralamat di daerah sekitar BSD. Namun
selama tiga minggu rutin mengkonsumi obat herbal tersebut, kepala suami saya
diserang rasa sakit yang tidak bisa ditahan, sampai harus dirawat lagi di RS MK
selama 5 hari. Itu sekitar bulan November. Akhirnya, suami saya berhenti
mengkonsumi obat tersebut. Memang sih, sebelumnya dokter herbal tersebut juga
sudah memberitahu saya bahwa penyakit kanker yang dialami suami saya sudah
berat, sulit untuk disembuhkan. Pernah juga saya daftarkan pengobatan kanker
yang pakai rompi di daerah alam sutra, namun saya batalkan, karena ada teman di
kantor memakai rompi tersebut bertambah parah, demikian juga kakaknya, kanker
payudara dari stadium dua menjadi stadium empat malah sudah menyebar ke tulang
belakang.
Terbantu
BPJS
Sekitar
bulan November 2013, perawatan suami saya dipindahkan ke RS Dharmais, atas
saran seorang teman yang juga mengidap penyakit kanker. Suami saya keluar masuk
RS Dharmais sekitar 5 kali, dirawat tiga minggu, seminggu di rumah, masuk lagi
tiga minggu, dst. Setiap di rumah kondisinya selalu drop. Suami saya sempat
menjalani kemoterapi satu kali, mungkin karena obatnya terlalu keras,
tubuh suami saya tidak bisa menerima, kata dokter. Karena lima hari setelah di
kemo, kondisinya drop sekali, sampai tidak sadarkan diri, sehingga harus
dilarikan lagi ke RS Dharmais. Alhamdulillah, sejak bulan Januari 2014, sudah
ada BPJS yang sangat membantu. Saya saya bersyukur sekali adanya BPJS ini.
Betapa tidak, biaya yang sudah kami keluarkan untuk perawatan suami tidak sedikit,
meskipun saya memiliki asuransi kantor, tetap saja tidak bisa mencover seluruh
biaya pengobatan. Seperti yang saya sebutkan diatas, suami saya dirawat bolak
balik selama 5 kali di RS Dharmais, sebanyak itu pula saya tidak membayar biaya
apapun, termasuk biaya operasi kepala yang dialami oleh suami saya. Padahal
sebelumnya, seandainya biaya pengobatan tidak mencukupi, saya sudah ikhlas akan
menjual rumah kami. Hal ini juga sudah saya sampaikan kepada suami dan
keluarganya, yang penting suami bisa sembuh, pikir saya. Alhamdulillah, berkat
BPJS, rumah kami tidak jadi terjual. Meskipun suami saya akhirnya dipanggil
menghadap Yang Kuasa.
Berkaitan
dengan BPJS ini, saya juga ingin berbagi cerita sedikit. BPJS ini
diluncurkan bulan Januari 2014. Sekitar tanggal 5-an saya sudah mengurus kartu
BPJS suami saya. saya berusaha mempelajari semua hal yang berhubungan dengan
BPJS. Saya browsing internet. Jadi saya banyak tahulah soal BPJS.
Sementara tidak semua orang sudah banyak tahu soal BPJS ini termasuk pasien-pasien
di RSKD, maklum saja karena baru, belum sepenuhnya tersosialisasi. Nah, pada
awal Januari itu, saat suami saya dirawat lagi di RSKD, ada pasien seruangn
dengan suami saya, seorang bapak-bapak sudah agak tua keturunan China, terkena
kanker paru-paru juga, ditunggui oleh dua orang anaknya yang masih ABG. Si
bapak ini saya dengar mau dibawa pulang karena sudah tidak sanggup lagi
membayar biaya rumah sakit. Saya tanya, “kenapa mau dibawa pulang, kamu tidak
tahu, sekarang ada BPJS, program pemerintah, semacam asuransi yang
preminya kecil”, saya jelaskan dengan rinci soal BPJS ke anak si bapak,
syarat-syaratnya, termasuk prosedur yang harus dijalani.Ternyata mereka baru
tahu ada program BPJS, jadilah hari itu juga BPJS si bapak diurus, sampai
mereka datangkan pak RT mereka ke rumah sakit dan akhirnya si bapak tidak jadi
dibawa pulang. Alhamdulillah. Hari-hari berikutnya juga demikian, saya bahkan
aktif bertanya kepada para pasien yang dirawat di RSKD, apakah sudah
menggunakan BPJS atau sudah tahu soal adanya program BPJS dari pemerintah, saya
sudah seperti humas-nya BPJS. Karena saya merasa sangat terbantu oleh BPJS ini,
maka saya juga berusaha membantu orang yang belum paham soal BPJS.
Teman
senasib di RSKD
Selama
suami saya sakit, sudah beberapa kali bolak-balik RSKD. Sering sekali, di rumah
hanya seminggu, drop dilarikan lagi ke rumah sakit, di rumah sakit 3 minggu, di
rumah seminggu, balik lagi dirawat. Saking lamanya di rumah sakit, jadilah kami
punya teman senasib sepenanggungan dirumah sakit. Ada yang dari Bangka,
Pontianak, Sukabumi, Sumedang, dll. Kenapa saya bilang senasib, karena
penyakitnya sama yaitu kanker, karena RSKD adalah rumah sakit kanker nasional,
pasien yang datang dari berbagai daerah. Kami saling bertukar cerita dan saling
men-support satu sama lain. Ada teman sekamar suami saya, seorang pemuda
berumur sekitar 24 tahun, baru menikah punya anak bayi sekitar 7 bulan,
menderita kanker tulang, kakinya sudah diamputasi di sebuah rumah sakit di
Bandung, namun di RSKD dipotong lagi sebatas dengkul karena ternyata kankernya
sudah menjalar keatas. Jadilah yang menunggui pemuda tersebut orang tuanya yang
tinggal di Pontianak, karena si istri sibuk mengurus anak mereka yang masih
bayi yang tinggal di Bandung. Bapaknya seorang ustadz terkenal di pontianak dan
punya pondok pesantren di sana. Beberapa kali, suami dan pemuda ini sering di
waktu bersamaan dirawat di RSKD meskipun dirawat terkadang di ruang yang
berbeda. Terakhir yang saya dengar dia tidak mau lagi melakukan kemoterapi,
meninggal dunia di sebuah rumah sakit di Tasikmalaya, sekitar satu bulan
setelah suami saya meninggal.
Ada
lagi seorang pemuda juga, berasal dari Sukabumi, kalau yang ini baru menikah,
istrinya sedang hamil. Pemuda ini terkena kanker kulit di selangkangan. Juga
bolak balik masuk RSKD, sudah beberapa kali kemoterapi. Yang bikin saya tidak
tega, istrinya sedang hamil tua mengurus suami yang sedang sakit, sangat sabar
sekali. Pemuda ini meninggal dunia sekitar dua bulan setelah suami
saya.
Berikutnya,
seorang bapak berasal dari Bangka berumur 60-an, penyakitnya sama dengan suami
saya, kanker paru-paru tapi penyebarannya ke tulang. Kami sudah seperti
saudara, sama seperti pemuda tadi, sering berbarengan masuk rumah sakit,
meskipun ruangannya berbeda. Orang Bangka ini, menyewa rumah atau
istilahnya kos di belakang RSKD. Bapak ini ditemani oleh istri dan anak
laki-lakinya. Saya sering diberi lauk pauk oleh istrinya, karena biasanya
mereka masak di kosan kemudian dibawa ke rumah sakit. Bapak ini bolak-balik
Jakarta – Bangka. Paling di Jakarta hanya satu minggu untuk kemoterapi,
kemudian pulang lagi ke Bangka, kalau tidak salah bapak ini melakukan
kemoterapi sebanyak enam kali. Sebenarnya kondisi bapak ini sudah membaik,
namun dia mengeluh suaranya hilang, kemudian di broncoscopy, sejak itu
kondisinya terus drop, sampai akhirnya meninggal dunia sekitar bulan November
2014.
Dan
yang ini juga seorang pemuda, asal Sumedang. Pemuda ini terkena leukimia
(kanker darah). Sudah menikah, baru mau punya anak dua. Ditunggui oleh
istrinya, saya memanggilnya teteh. Saya sudah sangat akrab dengan teteh ini,
sudah seperti saudara, bahkan pernah menginap di rumah saya, karena suaminya
akan di kemoterapi sementara dia sedang hamil, orang hamil tidak diperbolehkan
mendekat takut terkena radiasi. Saat ini masih dirawat di RSKD sudah sekitar
empat bulan. Saya masih sering menjenguk mereka di RSKD.
Ada lagi seorang bapak, lebih tua beberapa tahun dari suami saya, terkena kanker nasoparing. Suami saya dengan bapak ini sudah lama dirawat sekamar sekitar 2,5 bulan. Istri dan adiknya yang menunggui beliau sudah sangat akrab dengan saya. Kami sudah seperti saudara, saling memotivasi. Ceritanya, suami saya, sudah disarankan dokter untuk pengobatan paliatif atau home care. Jadilah teman sekamar yang sudah akrab ini merasa sedih akan ditinggal pulang ke rumah. Ternyata takdir berkata lain, si bapak ini yang berpulang lebih dulu ke Ilahi Robbi pada hari Rabu, sementara suami saya yang rencananya pulang ke rumah hari sabtu atau minggu, berpulang ke rahmatullah hari minggu siang menjelang asar. Hanya beda 4 hari. Kita punya rencana, takdir Allah menentukan lain. Rencana Allah pasti yang terbaik.
Paranoid
soal Makanan
Sejak
suami saya sakit, saya jadi paranoid (parno) dalam hal makanan. Kenapa? Karena
saya banyak membaca dan jadi banyak tahu soal seluk beluk penyakit
kanker, juga banyak mendapat cerita dari berbagai sumber selama suami
saya sakit dan dirawat di rumah sakit. Kesimpulan saya, penyakit kanker itu
bisa disebabkan oleh genetik (keturunan) juga bisa dari asupan makanan yang
masuk ke tubuh kita. Apabila diantara anggota keluarga kita ada yang menderita
penyakit kanker berarti kita memiliki sifat genetik, ditambah makanan yang
tidak sehat, dapat memicu perkembangan kanker dengan cepat. Kebetulan suami
saya, ada genetik penyakit kanker dari ibunya. Ditambah pola dan gaya hidup
yang tidak sehat, seperti suami saya.
Mertua saya meninggal dunia karena kanker rahim, baru ketahuan sudah stadium lanjut, karena dia tidak pernah memberitahukan bahwa dia mengalami keputihan dan pendarahan, usianya sudah lanjut sekitar 73 tahun. Hanya empat bulan dari ketahuan penyakitnya, beliau meninggal dunia. Saya tidak tahu, apakah ibu mertua saya ada genetik atau tidak. Yang saya tahu, dia selalu memakai penyedap rasa (petsin/mecin) jika memasak, tidak pernah ketinggalan, sepertinya sedari muda sudah seperti itu. Kebetulan saya tinggal serumah dengan mertua. Saya pernah menjelaskan soal bahaya penyedap rasa ini kepada beliau, juga kepada ART (Asisten Rumah Tangga) di rumah. Tapi mungkin karena sudah kebiasaan barangkali, jadinya kalau tidak pakai penyedap rasa, masakan jadi tidak enak, katanya.
Ada
lagi, keluarga kakak ipar saya, ibu dan abangnya meninggal karena penyakit
kanker juga, ibunya kanker di perut, sedangkan abangnya leukimia. Keluarga ini
dulu pernah memiliki warung makan (warteg), pastinya warung-warung makan
seperti ini kalau memasak pakai penyedap rasa, tentunya. Ada lagi seorang
pemuda, sekamar di ruangan ICCU dengan suami saya. Terkena kanker otak, dia
penjual ayam bakar, dia sering sekali sarapan makan mie instan. Kalau dilarang
tidak mau, bahkan kalau istrinya membuatkan nasi goreng, dia lebih memilih
makan mie instan, apalagi ditambah sering makan makanan yang dibakar, seperti
ayam bakar tentu tidak baik karena hasil bakaran yang berwarma hitam itu
mengandung karsinogen yang dapat memicu pertumbuhan sel kanker.
Tetangga
depan rumah juga meninggal karena kanker usus, kata anaknya, bapaknya sering
sekali makan mie instan buat sarapan, bahkan sekali makan dua bungkus. Ada
lagi, seorang anak umur sekitar 9 tahun, sekamar dengan suami saat
dirawat ruang ICCU, menderita kanker otak, menurut ibunya, anak ini
sering sekali makan mie instan. Banyak lagi pasien-pasien anak lainya di RSKD,
bahkan satu lantai khusus untuk penderita kanker anak disana. Mengerikan
sekali. Saya jadi paranoid sekali dengan mie instan. Mungkin sekali-sekali
boleh, tapi jangan sering. Sejak suami sakit, saya tidak perbolehkan lagi anak-anak
makan mie instan. Dan di rumah, saya tidak pernah lagi memasak menggunakan
penyedap, apapun itu bentuknya. Saya padu padankan garam dan gula sebagai
penyedap. Demikian juga dengan minyak goreng, paling menggunakan minyak
goreng sekali atau dua kali pakai, setelah itu saya buang, karena pemakaian
minyak goreng berkali-kali juga dapat menyebabkan kanker. Sekarang jarang
sekali saya beli gorengan di pinggir jalan. Makanlah makanan yang sehat, tanpa
bahan pengawat dan penyedap rasa. Saya sekarang mencoba menerapkan pola makan food
combining, lebih banyak makan sayur dan buah, mengurangi karbohidrat. Bukan
untuk kurus tapi agar badan tetap sehat.
Kemudahan
ditengah kesulitan
Selama
suami saya sakit, banyak sekali kemudahan yang saya alami. Ini jelas
pertolongan dari Allah yang maha pengasih. Betapa tidak, selama suami saya
dirawat di rumah sakit, banyak sekali perhatian dan bantuan, terutama
dari keluarga, teman-teman suami, dan juga teman-teman saya. Bahkan yang
tinggal di luar negeri. Mungkin ini pengaruh dari jagad Sosmed (sosial media),
dimana orang dengan mudah dan cepat saling memberi kabar hingga keluar negeri
sekalipun.
Banyak
sekali teman-teman yang memberikan donasi selama suami saya sakit. Teman suami
yang tinggal di Jepang, Swedia dan Amerika Serikat. Teman-teman fotografer,
komunitas Kofipon (Komunitas Fotografi Ponsel), rekan-rekan Alumni SMA 28
Jakarta, suami saya salah satu alumninya. Teman-teman SMP dan SMA saya. Teman-teman
dari Tabloid Agrina, teman-teman eks Majalah Forum Keadilan, Eks Majalah Sinar.
Bahkan selama suami saya sakit, baik selama dirawat di rumah sakit ataupun
selagi di rumah, banyak sekali teman-teman yang datang menjenguk.
Pernah
di rumah kami seperti orang arisan, sangking ramainya, karena teman-teman suami
dan teman-teman saya datang secara bersamaan, untungnya mereka sudah memberi
kabar terlebih dahulu, sehingga saya dapat mempersiapkan penganan, meskipun
mereka juga membawa makanan, bahkan ada yang bilang tidak usah repot-repot kami
bawa makanan. Jadilah acara membesuk orang sakit menjadi semacam acara
reuni. Bahkan tetangga sampai bertanya, “ada arisan ya bu”. Orang tua saya juga
heran. Banyak sekali yang membesuk. Mungkin ini, balasan dari kebaikan suami
saya, karena suami saya itu dikenal berperilaku baik. Banyak orang bilang
begitu, Krus itu orangnya baik, kata mereka. Alhamdulillah, selama suami sakit,
saya sama sekali tidak kekurangan uang dan biaya. Saya tidak habis-habisnya
bersyukur dan sering kali menangis setiap kali menerima bantuan dari
teman-teman karena terharu. Ditengah kesulitan dan kesusahan ada kemudahan.
Allah Maha Pengasih dan Pemurah. Kebetulan setiap bantuan yang diberikan semua
saya catat, setelah saya hitung ternyata jumlahnya sangat besar sekali, tidak
usah saya sebutkan jumlahnya. Subhanallah, seperti mukjizat. Ini pasti semua
pertolongan dari Allah yang maha Pengasih.
Demikian
juga saat suami saya meninggal dunia, uang takziah juga sangat banyak sekali,
sebagian uang tersebut saya sedekahkan atas nama almarhum. Yang saya heran,
saat membuka amplop uang takziah, banyak amplop tanpa nama yang berisi uang
dalam jumlah lumayan besar. Saya jadi ingat, almarhum semasa hidupnya sering
melakukan hal yang sama, kalau ada acara undangan sering memberi uang dalam
jumlah besar dan tanpa mencantumkan nama di amplopnya. Mungkin ini balasannya,
saat beliau meninggal banyak orang memberi amplop tanpa nama juga.
Subhanallah... Idul Adha kemarin, saya juga qurban sapi atas nama almarhum.
Saya selalu ingatkan anak-anak untuk mendoakan papanya.
Keluarga
yang baik hati
Selama
suami saya sakit dan bolak balik dirawat di rumah sakit, anak-anak dititipkan
sama keponakan suami yang sangat baik hati. Selain dititipkan anak-anak,
kami juga selalu dipinjami mobil beserta supirnya ketika suami hendak kontrol
maupun akan dirawat di rumah sakit. Jarak rumah sakit dengan rumah kami
sangat jauh. Rumah kami di Depok sementara rumah sakit di kawasan Slipi.
Terbayang jauh dan macetnya. Selama tinggal dengan mereka, anak-anak sering
sekali diajak jalan-jalan, ke Dufan, Sea World, menginap di puncak, ke taman
safari, berenang, makan di restoran, sering jalan-jalan ke mall, subhanallah,
keluarga ini memang sangat luar biasa baiknya. Suami istri sama baiknya.
Demikian juga anak-anaknya. Kebetulan anaknya lumayan banyak, lima orang, ada
yang masih berumur dua tahun, ditambah anak saya tiga orang, jadilah rumahnya
seperti panti asuhan tempat kumpul bocah-bocah. Sementara saya menjaga
suami di rumah sakit berbulan-bulan tidak pulang ke rumah. Keponakan suami saya
ini, tinggal di kawasan Cibubur, di kompleks perumahan mewah di kawasan itu,
jadilah anak saya beberapa bulan tinggal di perumahan mewah. Kebetulan memang
suaminya menjadi salah satu pejabat di sebuah perusahaan pertambangan. Banyak
orang kaya dan mampu, tapi tidak semua memiliki hati emas seperti keluarga ini.
Saya terkadang suka menangis terharu, mengingat kebaikan suami istri ini. Kami
banyak dibantu oleh keluarga ini. Saya selalu berdoa untuk mereka.
Titipan
amanah
Kami
dititipi amanah tiga orang putra, ketika papanya sakit, putra pertama saya
kelas tiga SMA, kedua kelas tiga SMP dan terakhir 4,5 tahun. Semuanya laki-laki.
Sedang sedang-sedangnya membutuhkan biaya pendidikan. Anak pertama akan
lulus SMA hendak kuliah, anak kedua mau masuk SMA. Sedangkan anak ketiga baru
mau masuk sekolah TK. Sementara papanya sakit keras dan tentu saja sudah tidak
bisa lagi mencari nafkah, dan akhirnya meninggal dunia. Alhamdullilah, ada
rezeki dari Allah, sekarang yang besar sudah masuk kuliah, yang
kedua sudah masuk SMA dan yang kecil 5 tahun sudah masuk sekolah TK.
Takdir
Allah sudah menentukan, saya dititipkan amanah mengasuh dan mendidik anak
seorang diri. Semoga saya selalu bisa istiqomah di jalan Allah. Dan dapat
mendidik mereka menjadi anak yang sholeh taat beribadah, berbudi luhur,
berbakti kepada orang tua, rendah hati, bermanfaat bagi sesama, sukses dunia
dan akherat. Itu doa yang selalu saya panjatkan. Semoga diijabah oleh Allah
SWT. Aminn Ya Robbal Alamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar