Kamis, 07 Januari 2021

Kepergianmu ... ( Repost Des, 4 2014 )


Sebenarnya saya masih belum sanggup  membuka akun blog  ini...
Mengingat di dalam blog ini tersimpan sebagian kenangan bersama suami tercinta. Bahkan untuk melihat fotonya pun terkadang masih belum kuat... masih terbayang seakan dia masih ada...

Suami saya beberapa bulan lalu meninggal dunia karena sakit, tepatnya  hari Minggu, 18 Mei 2014. Suami saya menderita sakit selama tujuh bulan sebelum meninggal. Disini  saya ingin berbagi (sharing) cerita  buat para pembaca yang sempat membaca blog  saya ini. Semoga ada manfaat dan hikmah yang bisa diambil dari pengalaman saya ini. 

Suami saya bernama Krus Haryanto  (  http://www.zizigallery.com/2015/11/dimensi-foto-oleh-om-krus-haryanto.html http://brockbox.blogspot.co.id/2014/05/in-memoriam-om-krus-haryanto.html dia seorang fotografer profesional, tepatnya Pewarta Foto. Pernah menjadi Ketua Umum Pewarta Foto  Indonesia (PFI), pernah bekerja di beberapa majalah ternama di Jakarta. Suami saya juga bisa menulis. Dia juga piawai bermain musik, terutama gitar. Untuk urusan musik, beberapa tahun belakangan  juga menciptakan  banyak lagu yang belum sempat dilansir alias dipublikasikan. Hanya beberapa teman yang sudah mendengar lagunya dan katanya bagus.  Ada lagu dangdut, pop, pop jaz, aliran seperti koes ploes juga ada. Belasan  lagu sudah dia ciptakan dalam bentuk jadi, direkam sendiri  di rumah dengan suaranya sendiri. Untuk cipta mencipta lagu ini,  lagunya sudah pernah menjadi  jingle sebuah iklan yang disiarkan di radio untuk sebuah produk. Kalau boleh dibilang suami saya ini multi talenta, dia bisa menulis, jago motret, juga pintar bermain musik. Saya bangga punya suami seperti dia.


Serangan mendadak

Saya sama sekali tidak menduga, hari kamis malam, tanggal 18 Oktober 2013 itu menjadi hari yang tak terlupakan. Betapa tidak, malam itulah suami saya  terkena serangan penyakit pertama kalinya, tepatnya baru ketahuan,  yang berujung panjang dan sampai akhirnya dia meninggal dunia. Malam itu,  seperti biasa, saya pulang kantor sekitar jam 10-an malam. Saya dapati suami saya sudah ada di teras depan rumah membukakan pintu pagar.   Sepulang kantor, biasanya setelah ganti baju, saya langsung ke kamar mandi untuk  sikat gigi, cuci muka, kemudian tidur, karena sebelumnya saya sudah lebih dulu sholat isya di kantor. Namun ketika saya di kamar, suami menghampiri dan memanggil saya, “ada apa pa”, jawab saya. Namun dia tidak menjawab. Saya tanya, “kenapa pa, papa sakit, sini mama pijitin”, sambil saya pijit badannya. Tapi pagi memang dia sempat minta dipijit sebelum saya berangkat bekerja. Ketika saya tanya, dia tidak menjawab, tepatnya tidak bisa menjelaskan kenapa dan apanya yang sakit atau enggak enak. Sampai akhirnya dia saya bawa ke klinik 24 jam dekat rumah. Itu juga saya pikir tumben, kok mau, karena biasanya dia paling tidak suka ke dokter, kalau tidak sakit parah sekali.  Di ruangan dokter, dia juga tidak bisa menjawab pertanyaan dokter, “apa yang dirasakan pak” tanya dokter. Sampai saya bilang, belakangan suami saya sering batuk dokter. Akhirnya kita pulang, dokter hanya memberi obat batuk biasa, karena tensi dan lain-lain semuanya bagus. 

Sampai di rumah  masih juga belum bisa menjawab apa yang saya tanyakan “ada apa sih pa, kok ga bisa ngomong, ada apa, papa kenapa, apa yang dirasain”. Tetap tidak bisa menjawab, dijawab “ehm ehm itu ehm anu.. dst”. Sampai sekitar jam 12 malam, tiba-tiba kepalanya miring ke kanan... dan suami saya kejang. Saya panik. Saya bangunkan kedua anak saya. Saya suruh pegang papanya jangan sampai jatuh atau terbentur. Beberapa menit kemudian, suami saya ngamuk seperti orang kesurupan hampir sekitar 40 menit. Setelah sadar,  baru dibawa ke rumah sakit MK.  Saya pikir, suami saya kena stroke, yang saya ingat adalah bahwa ketika seseorang terserang stroke maka paling lambat 6 jam harus segera ditangani oleh dokter, kalau tidak maka bisa menjadi stroke permanen. Itu yang saya ingat.  Maka yang ada dalam ingatan saya adalah harus segera di bawa ke rumah sakit.


Terdeteksi Kanker Paru-paru 

Sampai di rumah sakit sekitar jam 02.00 dini hari, suami saya segera digotong ke ruang IGD. Diperiksa oleh dokter jaga, disuruh menjulurkan lidah, menggenggam, menanyakan siapa disamping bapak, dst. Semuanya bisa dijawab dengan baik, seolah sebelumnya tidak terjadi apa-apa. Malam itu juga kepala dan dadanya di scan / rontgen. Kemudian dokter memanggil saya, mendengar penjelasan dokter, saya sangat kaget bagai disambar halilintar, dokter mengatakan di kepala suami saya, ada semacam massa, massa itu bisa kanker atau tumor, di paru-paru juga ada, kemungkinan tumor paru-paru yang sudah menyebar ke kepala. Saya lemas dan terkulai mendengar keterangan dokter. Saya jalan seperti tidak menapak bumi. Lemah lunglai.   Malam itu suami saya masuk ke ruang HCU. Sekitar dua malam di HCU, pindah ke ruang perawatan biasa. Selanjutnya, kepala suami saya di MRI dan scan thorax contras. Hasil MRI, suami saya terkena kanker paru-paru yang sudah menjalar ke kepala. Kenapa suami saya kejang, karena massa yang ada di kepala meradang (bengkak). Itu yang membuat suami saya kejang. Dan itulah yang menjadi penanda awal (ketahuan) bahwa suami saya kena kanker paru-paru stadium empat yang sudah menjalar kepala. Sebenarnya tumor yang ada di kepala kecil sekitar 1,5 mili. Tapi karena meradang jadi terlihat sangat besar sekali. Hasil MRI terlihat jelas, tumor dan peradangannya. Saya sempat berdebat dengan dokter spesialis paru, “kenapa baru ketahuan, langsung stasium empat dok?”, tanya saya yang awam ini. “Memang begitu bu, kalau kanker-kanker paru-paru itu jahat, biasanya baru ketahuan kalau stadium sudah lanjut”, dokter menjelaskan.  Untuk tahu bahwa seseorang terkena kanker paru-paru, menurut dokter, harus setiap tahun rontgen, terutama untuk seorang perokok. Suami saya dirawat selama 6 hari di RS MK Depok.

Sebenarnya suami saya jarang sekali sakit, paling hanya sakit biasa masuk angin, flu dan batuk biasa. Dan sangat jarang  ke dokter. Dia bukan dokter minded seperti saya. Kalau saya, sakit sedikit ke dokter, sakit sedikit ke rumah sakit. Seingat saya, selama kami menikah selama 19 tahun, paling hanya beberapa kali dia ke dokter dan tidak pernah masuk rumah sakit atau dirawat tepatnya. Saat lebaran Idul Fitri Agustus 2013, kami masih sempat mudik ke Jawa Tengah bersama keluarga besar suami, konvoi empat mobil. Suami saya masih nyetir pulang pergi tanpa ada yang menggantikan, pulangnya sempat menginap semalam di Pangandaran.  Pulang dari mudik, memang suami batuk-batuk agak lama sekitar dua bulan, tidak sembuh-sembuh, saya suruh ke dokter tidak mau, hanya minum orang batuk cair yang beli di toko obat. Hari Sabtu, tanggal 12 Oktober 2013 kami masih jalan-jalan ke Pantai Anyer bersama keponakan.  Tanggal 15 Oktober 2013 hari Idul Adha. Serangan ini terjadi tiga hari setelah hari raya Idul Adha, tepatnya tgl 17 Oktober tengah malam, hari kamis malam jumat.  Seingat saya, saat itu tiga hari berturut-turut saya memasak daging, hari pertama lebaran, daging Qurban saya buatkan rendang, hari berikutnya anak saya yang kedua minta dibuatkan semur, saya tanya ke suami, “ga apa-apa, daging lagi, anak-anak minta dibikinkan semur” tanya saya ke suami. “enggak apa-apa”, kata suami. Apa mungkin itu yang menjadi pemicunya, saya tidak tahu.


Pola hidup tidak sehat 

Menang benar, pola dan gaya hidup suami saya sangat buruk sekali. Suami saya perokok berat, sehari bisa menghabiskan rokok dua bungkus, minum kopi sehari bisa tiga gelas bahkan lebih, suka sekali begadang, jarang sekali tidur dibawah jam 12 malam. Ditambah tidak terlalu suka makan sayur, kalau makan tidak pernah banyak, mungkin sudah terlalu kenyang dengan kopi. Saya sudah sering kali mengingat dia dalam soal ini,  bahkan saya pernah bilang ke dia suatu kali, “papa itu,  semua sumber penyakit ada di papa, rokok, kopi, begadang, lama-lama saya nanti  jadi janda nih”, ujar saya saking kesalnya. Dan ternyata ucapan saya itu, saat ini terbukti,  saat ini menjadi janda dengan tiga anak.  #pelajaran = jangan mengumpat dengan kalimat yang tidak baik, nanti kualat, istilah orang tua#  #astaghfirullahhalazhim#

Ahhh... sudahlah, tidak perlu lagi mengingat dan mengungkit atau mengulang-ngulang masalah rokok di hadapan suami, pikir saya. Karena kalau saya mengungkit masalah rokok ini di hadapannya  tentu membuat dia tambah down. Sejak dia sakit, saya tidak pernah mengungkit lagi masalah rokok apalagi menuding-nuding dia sebagai perokok berat. Karena saya sudah tahu dari dokter bahwa kanker yang ada di tubuh suami saya sudah stadium empat. Saya kasian dan melas melihat dia dan sangat berharap dia sembuh. Saya dan keluarga besar tidak memberitahu stadium kanker yang dialami oleh suami saya. Enggak tega. 

Suami saya sempat mencoba pengobatan herbal dari seorang dokter sekaligus herbalis  yaitu dokter yang beralamat  di daerah sekitar BSD. Namun selama tiga minggu rutin mengkonsumi obat herbal tersebut, kepala suami saya diserang rasa sakit yang tidak bisa ditahan, sampai harus dirawat lagi di RS MK selama 5 hari. Itu sekitar bulan November. Akhirnya, suami saya berhenti  mengkonsumi obat tersebut. Memang sih, sebelumnya dokter herbal tersebut juga sudah memberitahu saya bahwa penyakit kanker yang dialami suami saya sudah berat, sulit untuk disembuhkan. Pernah juga saya daftarkan pengobatan kanker yang pakai rompi di daerah alam sutra, namun saya batalkan, karena ada teman di kantor memakai rompi tersebut bertambah parah, demikian juga kakaknya, kanker payudara dari stadium dua menjadi stadium empat malah sudah menyebar ke tulang belakang.


Terbantu BPJS

Sekitar bulan November 2013, perawatan suami saya dipindahkan ke RS Dharmais, atas saran seorang teman yang juga mengidap penyakit kanker. Suami saya keluar masuk RS Dharmais sekitar 5 kali, dirawat tiga minggu, seminggu di rumah, masuk lagi tiga minggu, dst. Setiap di rumah kondisinya selalu drop. Suami saya sempat menjalani kemoterapi satu kali, mungkin karena obatnya  terlalu keras, tubuh suami saya tidak bisa menerima, kata dokter. Karena lima hari setelah di kemo, kondisinya drop sekali, sampai tidak sadarkan diri, sehingga harus dilarikan lagi ke RS Dharmais. Alhamdulillah, sejak bulan Januari 2014, sudah ada BPJS yang sangat membantu. Saya saya bersyukur sekali adanya BPJS ini. Betapa tidak, biaya yang sudah kami keluarkan untuk perawatan suami tidak sedikit, meskipun saya memiliki asuransi kantor, tetap saja tidak bisa mencover seluruh biaya pengobatan. Seperti yang saya sebutkan diatas, suami saya dirawat bolak balik selama 5 kali di RS Dharmais, sebanyak itu pula saya tidak membayar biaya apapun, termasuk biaya operasi kepala yang dialami oleh suami saya. Padahal sebelumnya, seandainya biaya pengobatan tidak mencukupi, saya sudah ikhlas akan menjual rumah kami. Hal ini juga sudah saya sampaikan kepada suami dan keluarganya, yang penting suami bisa sembuh, pikir saya. Alhamdulillah, berkat BPJS, rumah kami tidak jadi terjual. Meskipun suami saya akhirnya dipanggil menghadap Yang Kuasa. 

Berkaitan dengan BPJS ini, saya juga ingin berbagi cerita sedikit.  BPJS ini diluncurkan bulan Januari 2014. Sekitar tanggal 5-an saya sudah mengurus kartu BPJS suami saya. saya berusaha mempelajari semua hal yang berhubungan dengan BPJS. Saya browsing internet. Jadi saya banyak tahulah soal BPJS. Sementara tidak semua orang sudah banyak tahu soal BPJS ini termasuk pasien-pasien di RSKD, maklum saja karena baru, belum sepenuhnya tersosialisasi. Nah, pada awal Januari itu, saat suami saya dirawat lagi di RSKD, ada pasien seruangn dengan suami saya, seorang bapak-bapak sudah agak tua keturunan China, terkena kanker paru-paru juga, ditunggui oleh dua orang anaknya yang masih ABG. Si bapak ini  saya dengar mau dibawa pulang karena sudah tidak sanggup lagi membayar biaya rumah sakit. Saya tanya, “kenapa mau dibawa pulang, kamu tidak tahu, sekarang ada BPJS,  program pemerintah, semacam asuransi yang preminya kecil”, saya jelaskan dengan rinci soal BPJS ke anak si bapak, syarat-syaratnya, termasuk prosedur yang harus dijalani.Ternyata mereka baru tahu ada program BPJS, jadilah hari itu juga BPJS si bapak diurus, sampai mereka datangkan pak RT mereka ke rumah sakit dan akhirnya si bapak tidak jadi dibawa pulang. Alhamdulillah. Hari-hari berikutnya juga demikian, saya bahkan aktif bertanya kepada para pasien yang dirawat di RSKD, apakah sudah menggunakan BPJS atau sudah tahu soal adanya program BPJS dari pemerintah, saya sudah seperti humas-nya BPJS. Karena saya merasa sangat terbantu oleh BPJS ini, maka saya juga berusaha membantu orang yang belum paham soal BPJS.


Teman senasib di RSKD

Selama suami saya sakit, sudah beberapa kali bolak-balik RSKD. Sering sekali, di rumah hanya seminggu, drop dilarikan lagi ke rumah sakit, di rumah sakit 3 minggu, di rumah seminggu, balik lagi dirawat. Saking lamanya di rumah sakit, jadilah kami punya teman senasib sepenanggungan dirumah sakit. Ada yang dari Bangka, Pontianak, Sukabumi, Sumedang, dll. Kenapa saya bilang senasib, karena penyakitnya sama yaitu kanker, karena RSKD adalah rumah sakit kanker nasional, pasien yang datang dari berbagai daerah. Kami saling bertukar cerita dan saling men-support satu sama lain. Ada teman sekamar suami saya, seorang pemuda berumur sekitar 24 tahun, baru menikah punya anak bayi sekitar 7 bulan, menderita kanker tulang, kakinya sudah diamputasi di sebuah rumah sakit di Bandung, namun di RSKD dipotong lagi sebatas dengkul karena ternyata kankernya sudah menjalar keatas. Jadilah yang menunggui pemuda tersebut orang tuanya yang tinggal di Pontianak, karena si istri sibuk mengurus anak mereka yang masih bayi yang tinggal di Bandung. Bapaknya seorang ustadz terkenal di pontianak dan punya pondok pesantren di sana. Beberapa kali, suami dan pemuda ini sering di waktu bersamaan dirawat di RSKD meskipun dirawat terkadang di ruang yang berbeda. Terakhir yang saya dengar dia tidak mau lagi melakukan kemoterapi, meninggal dunia di sebuah rumah sakit di Tasikmalaya, sekitar satu bulan setelah suami saya meninggal.

Ada lagi seorang pemuda juga, berasal dari Sukabumi, kalau yang ini baru menikah, istrinya sedang hamil. Pemuda ini terkena kanker kulit di selangkangan. Juga bolak balik masuk RSKD, sudah beberapa kali kemoterapi. Yang bikin saya tidak tega, istrinya sedang hamil tua mengurus suami yang sedang sakit, sangat sabar sekali. Pemuda ini meninggal dunia  sekitar dua bulan setelah suami saya. 

Berikutnya, seorang bapak berasal dari Bangka berumur 60-an, penyakitnya sama dengan suami saya, kanker paru-paru tapi penyebarannya ke tulang. Kami sudah seperti saudara, sama seperti pemuda tadi, sering berbarengan masuk rumah sakit, meskipun ruangannya berbeda. Orang Bangka ini, menyewa rumah  atau istilahnya kos di belakang RSKD. Bapak ini ditemani oleh istri dan anak laki-lakinya. Saya sering diberi lauk pauk oleh istrinya, karena biasanya  mereka masak di kosan kemudian dibawa ke rumah sakit. Bapak ini bolak-balik Jakarta – Bangka. Paling di Jakarta hanya satu minggu untuk kemoterapi, kemudian pulang lagi ke Bangka, kalau tidak salah bapak ini melakukan kemoterapi sebanyak enam kali. Sebenarnya kondisi bapak ini sudah membaik, namun dia mengeluh suaranya hilang, kemudian di broncoscopy, sejak itu kondisinya terus drop, sampai akhirnya meninggal dunia sekitar bulan November 2014. 

Dan yang ini juga seorang pemuda, asal Sumedang. Pemuda ini terkena leukimia (kanker darah). Sudah menikah, baru mau punya anak dua. Ditunggui oleh istrinya, saya memanggilnya teteh. Saya sudah sangat akrab dengan teteh ini, sudah seperti saudara, bahkan pernah menginap di rumah saya, karena suaminya akan di kemoterapi sementara dia sedang hamil, orang hamil tidak diperbolehkan mendekat takut terkena radiasi. Saat ini masih dirawat di RSKD sudah sekitar empat bulan. Saya masih sering menjenguk mereka di RSKD.

Ada lagi seorang bapak, lebih tua beberapa tahun dari suami saya, terkena kanker nasoparing. Suami saya dengan bapak ini sudah lama dirawat sekamar sekitar 2,5 bulan. Istri dan adiknya yang menunggui beliau sudah sangat akrab dengan saya. Kami sudah seperti saudara, saling memotivasi. Ceritanya,  suami saya, sudah disarankan dokter untuk pengobatan paliatif atau home care. Jadilah teman sekamar yang sudah akrab ini merasa sedih akan ditinggal pulang ke rumah. Ternyata takdir berkata lain, si bapak ini yang berpulang lebih dulu ke Ilahi Robbi pada hari Rabu, sementara suami saya yang rencananya pulang ke rumah hari sabtu atau minggu, berpulang ke rahmatullah hari minggu siang menjelang asar. Hanya beda 4 hari. Kita punya rencana, takdir Allah menentukan lain. Rencana Allah pasti yang terbaik.



Paranoid soal Makanan

Sejak suami saya sakit, saya jadi paranoid (parno) dalam hal makanan. Kenapa? Karena saya banyak membaca dan jadi banyak tahu  soal seluk beluk penyakit kanker, juga banyak  mendapat cerita dari berbagai sumber selama suami saya sakit dan dirawat di rumah sakit.  Kesimpulan saya, penyakit kanker itu bisa disebabkan oleh genetik (keturunan) juga bisa dari asupan makanan yang masuk ke tubuh kita. Apabila diantara anggota keluarga kita ada yang menderita penyakit kanker berarti kita memiliki sifat genetik, ditambah makanan yang tidak sehat, dapat memicu perkembangan kanker dengan cepat. Kebetulan suami saya, ada genetik penyakit kanker dari ibunya. Ditambah pola dan gaya hidup yang tidak sehat, seperti suami saya. 

Mertua saya meninggal dunia karena kanker rahim, baru ketahuan sudah stadium lanjut, karena dia tidak pernah memberitahukan bahwa dia mengalami keputihan dan pendarahan, usianya sudah lanjut sekitar 73 tahun. Hanya empat bulan dari ketahuan penyakitnya, beliau meninggal dunia. Saya tidak tahu, apakah ibu mertua saya ada genetik atau tidak.  Yang saya tahu, dia selalu memakai penyedap rasa (petsin/mecin) jika memasak, tidak pernah ketinggalan, sepertinya sedari muda sudah seperti itu. Kebetulan saya tinggal serumah dengan mertua. Saya pernah menjelaskan soal bahaya penyedap rasa ini kepada beliau, juga kepada ART (Asisten Rumah Tangga) di rumah.  Tapi mungkin karena sudah kebiasaan barangkali, jadinya kalau tidak pakai penyedap rasa, masakan jadi tidak enak, katanya. 

Ada lagi, keluarga kakak ipar saya, ibu dan abangnya meninggal karena penyakit kanker juga, ibunya kanker di perut, sedangkan abangnya leukimia. Keluarga ini dulu pernah memiliki warung makan (warteg), pastinya warung-warung makan seperti ini kalau memasak pakai penyedap rasa, tentunya. Ada lagi seorang pemuda, sekamar di ruangan ICCU dengan suami saya. Terkena kanker otak, dia penjual ayam bakar, dia sering sekali sarapan makan mie instan. Kalau dilarang tidak mau, bahkan kalau istrinya membuatkan nasi goreng, dia lebih memilih makan mie instan, apalagi ditambah sering makan makanan yang dibakar, seperti ayam bakar tentu tidak baik karena hasil bakaran yang berwarma hitam itu mengandung karsinogen yang dapat memicu pertumbuhan sel kanker. 

Tetangga depan rumah juga meninggal karena kanker usus, kata anaknya, bapaknya sering sekali makan mie instan buat sarapan, bahkan sekali makan dua bungkus. Ada lagi, seorang anak umur sekitar 9 tahun, sekamar dengan suami saat dirawat  ruang ICCU, menderita kanker otak, menurut ibunya, anak ini sering sekali makan mie instan. Banyak lagi pasien-pasien anak lainya di RSKD, bahkan satu lantai khusus untuk penderita kanker  anak disana. Mengerikan sekali. Saya jadi paranoid sekali dengan mie instan. Mungkin sekali-sekali boleh, tapi jangan sering. Sejak suami sakit, saya tidak perbolehkan lagi anak-anak makan mie instan. Dan di rumah, saya tidak pernah lagi memasak menggunakan penyedap, apapun itu bentuknya. Saya padu padankan garam dan gula sebagai penyedap. Demikian juga dengan minyak goreng, paling  menggunakan minyak goreng sekali atau dua kali pakai, setelah itu saya buang, karena pemakaian minyak goreng berkali-kali juga dapat menyebabkan kanker. Sekarang jarang sekali saya beli gorengan di pinggir jalan. Makanlah makanan yang sehat, tanpa bahan pengawat dan penyedap rasa. Saya sekarang mencoba menerapkan pola makan food combining, lebih banyak makan sayur dan buah, mengurangi karbohidrat. Bukan untuk kurus tapi agar badan tetap sehat.




Kemudahan ditengah kesulitan

Selama suami saya sakit, banyak sekali kemudahan yang saya alami. Ini jelas pertolongan dari Allah yang maha pengasih. Betapa tidak, selama suami saya dirawat di rumah sakit, banyak sekali perhatian dan  bantuan, terutama dari keluarga, teman-teman suami, dan juga teman-teman saya. Bahkan yang tinggal di luar negeri. Mungkin ini pengaruh dari jagad Sosmed (sosial media), dimana orang dengan mudah dan cepat saling memberi kabar hingga keluar negeri sekalipun.  

Banyak sekali teman-teman yang memberikan donasi selama suami saya sakit. Teman suami yang tinggal di Jepang, Swedia dan Amerika Serikat. Teman-teman fotografer, komunitas Kofipon (Komunitas Fotografi Ponsel), rekan-rekan Alumni SMA 28 Jakarta, suami saya salah satu alumninya. Teman-teman SMP dan SMA saya. Teman-teman dari Tabloid Agrina, teman-teman eks Majalah Forum Keadilan, Eks Majalah Sinar. Bahkan selama suami saya sakit, baik selama dirawat di rumah sakit ataupun selagi di rumah, banyak sekali teman-teman yang datang menjenguk. 

Pernah di rumah kami seperti orang arisan, sangking ramainya, karena teman-teman suami dan teman-teman saya datang secara bersamaan, untungnya mereka sudah memberi kabar terlebih dahulu, sehingga saya dapat mempersiapkan penganan, meskipun mereka juga membawa makanan, bahkan ada yang bilang tidak usah repot-repot kami bawa makanan.  Jadilah acara membesuk orang sakit menjadi semacam acara reuni. Bahkan tetangga sampai bertanya, “ada arisan ya bu”. Orang tua saya juga heran. Banyak sekali yang membesuk. Mungkin ini, balasan dari kebaikan suami saya, karena suami saya itu dikenal berperilaku baik. Banyak orang bilang begitu, Krus itu orangnya baik, kata mereka. Alhamdulillah, selama suami sakit, saya sama sekali tidak kekurangan uang dan biaya. Saya tidak habis-habisnya bersyukur dan sering kali menangis setiap kali menerima bantuan dari teman-teman karena terharu. Ditengah kesulitan dan kesusahan ada kemudahan. Allah Maha Pengasih dan Pemurah. Kebetulan setiap bantuan yang diberikan semua saya catat, setelah saya hitung ternyata jumlahnya sangat besar sekali, tidak usah saya sebutkan jumlahnya. Subhanallah, seperti mukjizat. Ini pasti semua pertolongan dari Allah yang maha Pengasih.

Demikian juga saat suami saya meninggal dunia, uang takziah juga sangat banyak sekali, sebagian uang tersebut saya sedekahkan atas nama almarhum. Yang saya heran, saat membuka amplop uang takziah, banyak amplop tanpa nama yang berisi uang dalam jumlah lumayan besar. Saya jadi ingat, almarhum semasa hidupnya sering melakukan hal yang sama, kalau ada acara undangan sering memberi uang dalam jumlah besar dan tanpa mencantumkan nama di amplopnya. Mungkin ini balasannya, saat beliau meninggal banyak orang memberi amplop tanpa nama juga. Subhanallah... Idul Adha kemarin, saya juga qurban sapi atas nama almarhum. Saya selalu ingatkan anak-anak untuk mendoakan papanya.


Keluarga yang baik hati

Selama suami saya sakit dan bolak balik dirawat di rumah sakit, anak-anak dititipkan sama keponakan suami yang sangat baik hati.  Selain dititipkan anak-anak, kami juga selalu dipinjami mobil beserta supirnya ketika suami hendak kontrol maupun akan dirawat di rumah sakit.  Jarak rumah sakit dengan rumah kami sangat jauh. Rumah kami di Depok sementara rumah sakit di kawasan Slipi. Terbayang jauh dan macetnya. Selama tinggal dengan mereka, anak-anak sering sekali diajak jalan-jalan, ke Dufan, Sea World, menginap di puncak, ke taman safari, berenang, makan di restoran, sering jalan-jalan ke mall, subhanallah, keluarga ini memang sangat luar biasa baiknya. Suami istri sama baiknya. Demikian juga anak-anaknya. Kebetulan anaknya lumayan banyak, lima orang, ada yang masih berumur dua tahun, ditambah anak saya tiga orang, jadilah rumahnya seperti panti asuhan tempat kumpul bocah-bocah.  Sementara saya menjaga suami di rumah sakit berbulan-bulan tidak pulang ke rumah. Keponakan suami saya ini, tinggal di kawasan Cibubur, di kompleks perumahan mewah di kawasan itu, jadilah anak saya beberapa bulan tinggal di perumahan mewah. Kebetulan memang suaminya menjadi salah satu pejabat di sebuah perusahaan pertambangan. Banyak orang kaya dan mampu, tapi tidak semua memiliki hati emas seperti keluarga ini. Saya terkadang suka menangis terharu, mengingat kebaikan suami istri ini. Kami banyak dibantu oleh keluarga ini.  Saya selalu berdoa untuk mereka.



Titipan amanah 

Kami dititipi amanah tiga orang putra, ketika papanya sakit, putra pertama saya kelas tiga SMA, kedua kelas tiga SMP dan terakhir 4,5 tahun. Semuanya laki-laki. Sedang sedang-sedangnya membutuhkan biaya pendidikan.  Anak pertama akan lulus SMA hendak kuliah, anak kedua mau masuk SMA. Sedangkan anak ketiga baru mau masuk sekolah TK. Sementara papanya sakit keras dan tentu saja sudah tidak bisa lagi mencari nafkah, dan akhirnya meninggal dunia. Alhamdullilah, ada rezeki dari Allah,  sekarang yang  besar sudah masuk kuliah, yang kedua sudah masuk SMA dan yang kecil 5 tahun sudah masuk sekolah TK.
Takdir Allah sudah menentukan, saya dititipkan amanah mengasuh dan mendidik anak seorang diri. Semoga saya selalu bisa istiqomah di jalan Allah. Dan dapat mendidik mereka menjadi anak yang sholeh taat beribadah, berbudi luhur, berbakti kepada orang tua, rendah hati, bermanfaat bagi sesama, sukses dunia dan akherat. Itu doa yang selalu saya panjatkan. Semoga diijabah oleh Allah SWT. Aminn Ya Robbal Alamin.






Kedoya, 4 Desember 2014

 

Selasa, 23 Oktober 2018

Trip to Bali September 2018

Liburan ke Bali ini sebenarnya tidak direncanakan, kebetulan abang saya ada pekerjaan di Bali, dia bersama team nya membawa kendaraan lewat jalur darat, saya ingin nyusul sendiri naik pesawat, tapi kemudian abang sy menyuruh istri dan kedua anaknya ikut serta, juga nenek (sebutan utk ibu sy). Beberapa hari sebelumnya, sy memang melontarkan ajakan ke ibu saya untuk menyusul anak lanang satu2 nya yg sudah duluan tiba di Bali. Tapi dijawab, kalau berdua saja tidak mau, kalau rame2 mau, katanya. Jadilah kita trip ke Bali kali ini membawa 3 bocah dan satu manula... bisa dipastikan betapa rempongnya hehehe... tapi asyik dan menyenangkan, terlebih bisa membawa ibu jalan-jalan ke Bali.... Alhamdulillah


Karena ibu sudah sepuh (85 thn), saya membeli kursi roda travel yang berukuran kecil sepulang kerja, untuk mendorong beliau ketika kelelahan dalam perjalanan. Sebenarnya ibu saya masih kuat untuk berjalan, namun jika terlalu jauh, sering merasa lelah. Benar saja, kursi roda tersebut sangat bermanfaat, meskipun awalnya beliau tidak mau memakai kursi roda, "aku masih kuat", katanya. 

Kami tiba bandara Ngurah Rai Selasa malam, 11 September 2018, dijemput oleh abang saya,   menginap di Hotel Made, di daerah Kuta Utara, dekat dengan pekerjaan abang saya.

Kami mengunjungi banyak spot wisata, setiap hari, kami habiskan waktu untuk meng-explore tempat wisata di sana. Alhamdulillah, ibu sehat selama 4 hari  di Bali.

Berikut moment-moment kami selama di Bali.


Hari pertama kami ke Taman Ayun dan Pura Ulun Datu, Rabu 12 September 2018 


Taman Ayun 














Pura Ulun Datu







                                          gambar pura yang ada di uang 50 ribuan








Pantai Kuta 

Hari kedua, Kamis 13 September 2018 pagi-pagi kami ke pantai Kuta, suasana masih sepi, mungkin karena masih pagi. Di Kuta, kami menikmati udara pantai yang masih segar sembari minum kelapa muda, harga satu buah kelapa 20 rb. Anak-anak senang main di Pantai.



 







      






    Pantai Pandawa

    Dari Kuta, kami melanjutkan perjalanan ke Pandawa. Lokasi wisata ini tergolong baru, sekitar tahun 2011 baru dibangun, kata pedagang makanan yang sempat saya tanya. Sepertinya tempat ini dulunya lokasi gunung kapur, kemudian dibelah, jadilah tempat wisata dengan view yang menawan. Wisatawan dapat menikmati pemandangan laut biru dan deburan ombak dari atas bukit yang dibelah ini. 











    Pura Uluwatu

    Dari Pandawa ke Pura Uluwatu, masih satu garis pantai. Memasuki kawasan wisata ini harus waspada, karena banyak monyet yang siap merampas kacamata, HP dan topi dan tas pengunjung. Trik supaya tidak didekati monyet, peganglah kayu atau ranting pohon, dijamin monyet tidak berani mendekat.  Saat kami disana, kacamata dan sandal anak kecil dirampas oleh monyet, untung nya bisa diselamatkan oleh tour guide disana. Monyetnya lumayan besar-besar.











    Tanah Lot

    Sore hari, kami menikmati sunset di Tanah Lot. Alhamdulillah air laut tidak pasang, sehingga kami bisa lebih leluasa turun mendekati pura kecil yang ada di batu karang di pinggir laut itu, yang merupakan ikon dari Tanah Lot ini. Di perjalanan pulang ke area parkir, banyak penjual souvenir di kiri kanan jalan menjajakan dagangannya ke wisatawan, seperti di Borobudur. 












    Keesokan harinya, hari ke tiga, Jumat, 14 Septemeber 2018, setelah mengantar anak buah abang saya ke terminal dekat Taman Rama Shinta, untuk pulang lebih dulu ke kampung halamannya di Malang, kami ke Sawah terasering di Tegallalang, kemudian melawati istana tampak siring, menuju ke Pura Tirta Empul, ada air suci di sini, banyak turis asing yang mandi di air suci ini dan sore harinya kami ke Danau dan Gunung batur yang Indah. Di Istana Tampak Siring kami hanya mengambil foto, karena memang tertutup untuk wisatawan.



    Taman Rama Shinta







    Tegallalang - Sawah terasering 











    Pura Tirta Empul di Tampak Siring 












    Istana Tampak Siring








    Danau dan Gunung Batur 







    Hari ke lima, Sabtu, 15 September 2018 hari terakhir kami di Bali, sebelum akhirnya pulang kembali ke Jakart pada malam harinya. Pagi-pagi kami sarapan di Pantai Sanur, ada warung makan yang enak disana, Warung mak Beng, menunya sup ikan dan ikan goreng, sambel nya nampol banget, asli enak banget... per porsi 45 ribu...tidak terlalu mahal. Pengunjung penuh, antri untuk mendapatkan kursi. 

    Dari Sanur, kami ke Pasar Sukowati beli oleh-oleh, sebelumnya mampir ke Museum Bajra Sandhi, dan membeli Pie Susu Asli Enakk di Jl. Nangka Selatan, searah menuju pasar Sukowati. Malam harinya nya kami kembali ke Jakarta, dengan penerbangan pukul 9 malam. Jangan lupa memberi oleh-oleh cake Bali Banana di Bandara Ngurah Rai, lembut dan enak. Satu kotak 35 ribu. Ada bermacam rasa. Saya beli yang original dan rasa coklat. 

    Semoga di lain waktu bisa kembali lagi ke sini, karena belum sempat makan Seafood di Jimbaran,  Pura Besakih, GWK dan spot wisata lainnya.  



    Pantai Sanur 








     Warung makan Mak Beng di Sanur





    Museum Bajra Sandhi